Quantcast
Channel: Photo | Buddhazine | Berita Foto Agama Buddha Terkini
Viewing all 222 articles
Browse latest View live

Profil Vihara Sasana Dhamma Temanggung

$
0
0

Temanggung, Jawa Tengah merupakan salah satu basis umat Buddha. Di sini terdapat banyak vihara. Salah satunya Vihara Sasana Dhamma yang berada di Dusun Pakisan RT 3/ RW 5, Desa Wonokerso, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung.

Jumlah umat di vihara ini sekitar 120 orang atau 28 KK.

Vihara didirikan pertama kali pada tahun 1947. Seiring berjalannya waktu dilakukan renovasi yang diresmikan pada tahun 2000.
Untuk saat ini kondisi Vihara Sasana Dhamma sedang dalam proses renovasi tahap 4.

Kegiatan pujabhakti tetap dilaksanakan setiap malamnya. Menariknya pujabhakti ini dilaksanakan oleh muda-mudi vihara, untuk malam minggu bisa lebih banyak anak muda-mudi yang hadir.

Anak anak muda ini juga eksis di medsos dengan membuat channel youtube tentang Vihara Sasana Dhamma dan juga Instagram.

Link kepo ada di bawah :

Youtube : https://m.youtube.com/channel/UCCvSSxEJTp_d-wCvJcwctxQ

Instagram : @vihara.sasana.dhamma

The post Profil Vihara Sasana Dhamma Temanggung appeared first on BuddhaZine.


7 Kolam Kuno di Petirtaan Cabean Kunti yang Syahdu

$
0
0

Petirtaan Cabean Kunti merupakan sebutan dari tujuh kolam atau sendang yang berada di Desa Cabean Kunti, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, di Provinsi Jawa Tengah. Di kawasan ini terdapat Sungai Kunti yang di sekitarnya terdapat tujuh mata air.

Oleh penduduk Jawa lebih dari 1000 tahun tahun lalu, di situ dibuatlah tujuh kolam atau sendang dari bebatuan candi, yang terdiri dari di Sendang Jangkang, Sendang Lerep, Sedang Sidotopo, Sendang Panguripan, Sedang Kunti Lanang, Sendang Kunti Wadon, dan Sendang Semboja.

Lokasi ketujuh sendang relatif berdekatan. Sebagian ada di barat jalan desa, dan sebagian di sisi timur. Salah satu sendang, yakni Sendang Wadon, saat ini sedang dalam proses restorasi.

Berada di 750 mdpl, ketujuh kolam petirtaan ini memiliki dimensi yang sama, yakni persegi panjang berukuran 4,70 m x 1,50 m. Namun sebagian sudah runtuh berserakan. Semua kolam tidak menganut orientasi empat mata angin. Hampir semua kolam tidak dipahat, kecuali kolam kedua yang berada di barat, yakni Sendang Lerep, yang memiliki ukiran relief.

Menurut papan keterangan di sini, petirtaan dibangun pada masa klasik Jawa Tengah yaitu sekitar abad VlII-X Masehi. Latar Belakang keagamaan dapat dilihat dari relief binatang, raksasa dan manusia yang ada di Sendang Lerep. Ini diduga merupakan tantri atau cerita binatang berisi ajaran moral pada agama Buddha.

Berdasarkan pendapat para ahli, ada dua kemungkinan tentang siapa tokoh yang membangun Petirtaan Cabean Kunti. Pertama, Petirtaan Cabean Kunti kemungkinan dibangun oleh tokoh bangsawan yang melarikan diri. Kedua, oleh petapa yang ingin mencapai kebebasan spiritual atau moksa.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.

The post 7 Kolam Kuno di Petirtaan Cabean Kunti yang Syahdu appeared first on BuddhaZine.

Melacak Menu Makanan Orang Jawa Kuno

$
0
0

Upacara penetapan tanah sima atau perdikan merupakan salah satu peristiwa penting yang sering tercatat dalam berbagai prasasti dari masa kerajaan di nusantara.

Seusai upacara digelar, lazimnya dilanjutkan dengan pemberian anugerah raja berupa berbagai hadiah bagi pihak-pihak yang telah berjasa kepada raja. Prosesi yang khidmat tersebut lantas diakhiri dengan pesta makanan dan minuman lezat disertai dengan pementasan berbagai seni hiburan.

Seperti apa makanan orang Jawa tempo dulu sekali, memang bisa dilacak, karena disebutkan dalam beberapa catatan prasasti. Namun dalam prasasti hanya disebutkan nama baik bahan maupun cara mematangkannya, tidak ada gambaran bentuknya.

Nah, bentuk makanan itu sendiri rupanya bisa dilacak dalam beberapa relief candi atau bangunan kuno lain dari batu. Salah satunya dari relief Sendang Lerep di Petirtaan Cabean Kunti di Boyolali, Jawa Tengah, yang didirikan antara abad VIII-X Masehi.

Di bagian tengah-kanan kolam, tergambar jelas beberapa orang pria dan satu bakul nasi yang dilengkapi dengan lauk pauk. Ada ikan utuh, dua irisan telur rebus, dan semacam dua tusuk sate yang satu tusuk irisannya tiga biji kotak-kotak.

Nasi dalam bakul berada di hadapan tiga orang pria yang duduk bersila. Gambaran ini mungkin bisa menjadi representasi aktivitas kenduri atau makan bersama zaman itu.

Relief di sebelah tengah-kiri juga sebenarnya memiliki banyak kesamaan. Hanya saja lauk yang berada di atas bakul nasi lebih sukar diidentifikasi. Selain itu tiga orang yang duduk bersimpuh di sini adalah perempuan. Berbeda dengan tiga orang di relief sebelah kanannya yang laki-laki.

Secara keseluruhan, relief di kolam ini berhubungan dengan makanan. Dua relief lain di samping dua relief tersebut di atas, menggambarkan beberapa sosok [semacam] raksasa yang membawa makanan berupa tulang-belulang.

Sementara di bagian sayap kolam, terdapat empat relief yang menggambarkan empat macam burung. Masing-masing burung yang membawa makanan di paruhnya.

Masih belum jelas apa makna cerita dari delapan panel relief tersebut. Beberapa pakar lantas menyebut itu sebagai kisah Tantri Buddhis, karena mengandung unsur binatang.

Namun bisa jadi itu adalah kisah tentang persembahan makanan. Sebab semua makhluk dalam relief mengarah ke sesembahan di tengah kolam, yang tak diketahui wujudnya karena sudah tidak ada lagi.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.

The post Melacak Menu Makanan Orang Jawa Kuno appeared first on BuddhaZine.

Tidak Punya Vihara, Umat Buddha Sidomulyo Boyolali Menumpang Di rumah Pribadi Untuk Pujabakti

$
0
0

Dukuh Sidomulyo merupakan salah satu dukuh yang berlokasi di Desa Sumbung, Kecamatan Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah. Sidomulyo merupakan salah satu dukuh yang di dalamnya terdapat umat Buddha.

Sesuai data dari Pak Suyadi selaku ketua vihara setempat, pada saat kunjungan tim BuddhaZine pada Jumat (21/08) jumlah umat aktif di Sidomulyo berjumlah total 90an umat yang terbagi dalam 37 KK.

Jumlah tersebut merupakan gabungan dari dua dukuh yaitu Dukuh Candiroto dan Dukuh Sidomulyo sendiri dengan jumlah masing dukuh adalah 18 KK dan 19 KK. Vihara untuk pujabakti maupun kegiatan bersama lainnya adalah Vihara Buddhajayanti yang berlokasi di Dukuh Sidomulyo.

Kegiatan rutin umat sebelum pandemi adalah pujabhakti rutin setiap hari Rabu, sementara kegiatan lainya adalah kegiatan anjangsana bergilir setiap 35 hari sekali. Khusus ibu-ibu setiap hari Rabu Wage sedangkan kegiatan pujabhakti Pattidana pada setiap hari Minggu Pahing.

Namun sudah hampir empat tahun belakangan umat menumpang pujabakti maupun kegiatan umat di rumah pribadi milik ketua vihara, Pak Suyadi. Meskipun hanya beralaskan tikar dan ruangan seadanya para umat tetap semangat berkegiatan rutin.

Hal ini karena adanya suatu persoalan status tanah vihara yang menyebabkan umat harus menumpang di rumah pribadi. Melihat semangat dan antusias umat akhirnya Pak Suyadi mempersilahkn rumahnya untuk digunakan.

“Sekarang ini umat kalau mau pujabakti dan kegiatan lain ya di rumah saya. Sudah kurang lebih empat tahun berjalan. Awalnya empat tokoh umat sini datang ke tempat saya untuk berembug karena prihatin dengan kondisi umat. Kebetulan rumah saya ada ruang kosong yang bisa digunakan untuk pujabakti. Akhirnya disepakati pujabakti dan kegiatan vihara di rumah saya,” jelas Pak Suyadi.

Menurut Pak suyadi, kondisi ini sudah mendapatkan perhatian baik dari Sangha maupun pihak Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) wilayah Boyolali. Bahkan sudah ada rencana pembangunan vihara yang baru, tetapi masih terkendala belum tersedia lahan, selama empat tahun berjalan belum ada warga yang bersedia untuk menjual tanahnya sebagai lahan pembangunan vihara.

Para umat Buddha Sidomulyo berharap bisa segera mempunyai vihara baru sehingga tidak harus menumpang di rumah pribadi. Hal ini pun diungkapkan oleh salah seorang umat, Susanti.

“Kami sangat berharap supaya segera punya vihara lagi. Kadang kami juga merasa gak enak kalu harus terus menumpang di rumah umat setiap kali pujabakti ataupun kegiatan lain,” ungkapnya.

Hingga sekitar tiga minggu sebelum kunjungan tim BuddhaZine, ketua vihara menerima tawaran lahan dari Pak Suyono, salah satu umat buddha Dukuh Sidomulyo, yang menawarkan diri menghibahkan sebagian tanahnya untuk pembangunan vihara yang baru.

“Ya kebetulan kemarin baru sekitar tiga mingguan ada umat yang datang untuk menghibahkan sebagian tanahnya. Ini akan segera saya konfimasikan kepada Sangha, terutama kepada Bhante Bodhi dan Bhante Dithi, karena dulu bhante juga sudah berpesan untuk segera konfirmasi jika sudah ada lahan supaya bisa mendapatkan bantuan untuk pembangunan viharanya. Terutama dalam pendanaan untuk membangun vihara, kami masih membutuhkan bantuan,” imbuhnya.

Sementara setelah mendapatkan konfirmasi dari umat, Bhante Dithi Sampanno menyambut bahagia dan akan segara memusyawarahkan kepada Sangha supaya segera ditindaklanjuti. Namun demikian bhante juga menyampaikan pesan atas persoalan yang terjadi di Sidomulyo.

“Kami senang akhirnya sudah ada konfirmasi bahwa sudah ada lahan yang bisa dibangun vihara, tapi hendaknya ini juga menjadi pelajaran penting bagi umat Buddha supaya mengurus dengan baik atas status tanah vihara, bisa dibuatkan sertifikat, sehingga tidak terjadi persoalan di kemudian hari,” terang Bhante.

The post Tidak Punya Vihara, Umat Buddha Sidomulyo Boyolali Menumpang Di rumah Pribadi Untuk Pujabakti appeared first on BuddhaZine.

Gua Selomangleng, Pertapaan Legendaris Dewi Kilisuci di Kediri

$
0
0

Kerajaan seperti Singhasari, Kadiri dan Kahuripan dahulu pernah berjaya di sekitar Kediri, Jawa Timur. Oleh karena itu, tidak heran jika cukup banyak ditemukan peninggalan sejarah masa silam kerajaan-kerajaan tersebut.

Salah satu peninggalan Shiwa-Buddha di Kediri adalah sebuah gua bernama Selomangleng. Gua ini dulunya merupakan tempat pertapaan ini adalah peninggalan pada masa Kerajaan Kahuripan.

Gua ini menyimpan sejarah pada masa Kerajaan Kahurupan saat Raja Airlangga memerintah. Sang raja memiliki putri bernama Sanggramawijaya Tunggadewi yang sebenarnya menjadi pewaris tahta Kerajaan Kahuripan dari perkawinannya dengan Putri Dharmawangsa Teguh.

Menurut sejarah tutur dan Babad Tanah Jawi, sang putri mahkota memilih menyepi menjadi seorang kili (pertapa perempuan) dan pergi ke Gua Selomangleng di kaki Gunung Klothok, yang berjarak lima kilometer di sebelah barat Kota Kediri. Ia lalu terkenal dengan nama Dewi Kilisuci. Cerita Panji menyebutnya sebagai figur mulia, suci dan sangat dihormati. Ia dikisahkan sering membantu kesulitan pasangan Panji Inu Kertapati dan Galuh Candrakirana, keponakannya.

Dewi Kili Suci yang hidup di abad ke-11 diyakini meninggal dengan mengarahkan batinnya ke Buddha-loka melalui praktik spiritualnya. Oleh sebagian orang, ia dipercayai sebagai seorang Mahasiddha Buddhis.

Kompleks Gua Selomangleng sendiri memang dibuat sebagai tempat untuk pertapaan terpencil. Selo adalah dalam bahasa Jawa yang artinya gunung, dan mangleng artinya lereng atau miring. Gua yang terbentuk dari batu andesit hitam ini memiliki berbagai ornamen terukir yang cukup menarik. Di antaranya adalah relief kala di mulut gua, dan relief menyerupai Buddha yang duduk bersamadhi di goa utama.

Tak jauh dari lokasi gua ini juga terdapat Museum Airlangga yang layak serta dikunjungi. Ini merupakan museum purbakala yang banyak sekali menyimpan benda-benda arkeologi berupa arca dan barang peninggalan lain.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.

The post Gua Selomangleng, Pertapaan Legendaris Dewi Kilisuci di Kediri appeared first on BuddhaZine.

Cerita Umat Buddha di “Negeri Ngapak”

$
0
0

Siang yang terik pun masih terasa dingin tapi kebosanan tak mampu untuk singgah. Pemandangan menawan alam sekitar tak jenuh-jenuhnya merayu mata untuk memandang. Bukit-bukit indah menjulang samar-samar terselimuti kabut tipis. Paru-paru seakan mendadak melebar tersentuh udara pegunungan yang segar.

Satu anugerah alam yang luar biasa bagi warga Dusun Pringamba, Desa Aribaya, Kecamatan Pagentan, Banjarnegara. Hidup berdampingan dengan alam yang mendukung sektor perkebunan. Rerimbunan pohon salak menghiasi area perdusunan dan sepanjang jalan menuju dusun. Di dusun ini pula para umat Buddha merajut kehidupan yang rukun bersama umat agama lain.

Keberadaan umat Buddha di Dusun Pringamba berawal pada tahun 1987, awal masuknya agama Buddha. Keberlangsungan umat yang hingga kunjungan tim BuddhaZine pada Kamis (27/08/2020) berjumlah kurang lebih 130 orang yang terbagi dalam 32 Kepala Keluarga, tak lepas dari peran para pendahulu yang dengan gigih memperkenalkan dan mempertahankan ajaran Buddha Dhamma di Dusun Pringamba.

Mbah Marta yang dikenal sebagai tokoh pengikut ajaran Buddha pertama di Dusun Pringamba. “Pada waktu itu karena ada aturan harus memeluk salah satu agama, maka Mbah Marta sekeluarga ikut masuk agama Buddha. Kemudian seiring berjalannya waktu keluarga-keluarga yang lain juga ikut seperti bapak saya, mbah Minerja, dan Mbah Sumarno. Mbah Sumarno merupakan ketua umat Buddha pertama di sini,” ungkap Pak Suroyo, pengurus kelompok karawitan umat Buddha Pringamba.

“Di awal-awal berdirinya agama Buddha memang banyak tekanan, banyak permasalahan dan kita harus berjuang untuk memberi pengertian kepada warga di sini hingga akhirnya bisa beriringan dengan keyakinan yang lain. Ya memang cukup menguras tenaga kala itu,”imbuhnya.

Bangunan wihara yang cukup megah menambah semangat umat untuk aktif berkegiatan, Wihara Metta Mandala namanya. Wihara Metta Mandala dibangun pada tahun yang bersamaan dengan awal masuknya agama Buddha di Pringamba yang saat ini diketuai oleh Bapak Mislam. Terbangun bertingkat dengan dua lantai, satu lantai atas sebagai ruang Dhammasala sementara ruang bawah adalah ruang serbaguna; lengkap dengan kamar mandi, dapur, perpustakaan dan dua kamar.

Hampir setiap malam selalu ada umat yang melakukan pujabakti di vihara meski tidak semua umat turut serta. Namun untuk kegiatan yang melibatkan banyak umat juga tak pernah terlewatkan, setiap Selasa malam Rabu para ibu-ibu dan pemudi melakukan puja walian (pujabakti anjangsana) yang dilakukan secara bergilir di setiap rumah umat. Sedangkan untuk yang bapak-bapak dan pemuda dilakukan setiap hari Sabtu malam Minggu dengan cara yang sama. Kegiatan lain adalah pujabakti pelimpahan jasa untuk para leluhur.

Meski menjadi minoritas, umat Buddha di Pringamba terbilang cukup aktif dalam kegiatan kemasyarakatan bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh umat Buddha yang menjadi tokoh masyarakat. Maka bukan hal aneh jika berbagai kegiatan sosial di Dusun Pringamba banyak melibatkan umat Buddha dalam kepengurusan kegiatan. Dengan sering terlibat dalam kegiatan masyarakat justru semakin mudah untuk meningkatkan nilai-nilai toleransi beragama antarwarga.

“Bahkan di sini itu kalau untuk urusan sosial kesadaran toleransinya masih tinggi. Sebagai contoh ketika umat Muslim membangun Masjid ya kita yang umat Buddha ikut membantu dalam pembangunan. Begitu sebaliknya ketika umat Buddha membangun vihara, umat Muslim sangat semangat membantu kami,” lanjut Suroyo.

Sementara untuk dinamika pertumbuhan umat Buddha saat ini tidak berbeda jauh dengan kondisi-kondisi umat Buddha di daerah lain yang terbilang stagnan. Hal ini pun diakui oleh salah satu tokoh masyarakat (perangkat desa) dari umat Buddha, Pak Julianto.

“Ya begini, berkembang banget juga tidak tapi berkurang sekali juga tidak. Hanya saja kami yang menjadi generasi tergolong tua ini cukup khawatir dengan kondisi para generasi muda jika sampai kurang bimbingan untuk memperkokoh keyakinan mereka. Kalau generasi mereka, termasuk anak saya dan sejajarnya ini sampai tumbang, ya punah sudah agama Buddha di sisni,” ungkapnya.

The post Cerita Umat Buddha di “Negeri Ngapak” appeared first on BuddhaZine.

Teduhnya Vihara Setiya Dhamma Sontonayan, Wonosobo

$
0
0

Vihara Setiya Dhamma, berada di Dusun Sontonayan, Desa Kapencar, Kecamatan Kertek, Wonosobo. Lokasinya yang unik, di bawah rindang pohon beringin besar dan berusia mungkin ratusan tahun, menjadikan area vihara terasa sejuk setiap saat.

Vihara Setiya Dhamma dibangun pada tahun 1999 berkat kerja keras umat sekitar serta bantuan para donatur masa itu, hingga saat ini ada kurang lebih 40 umat yang aktif berkegiatan di vihara ini.

Keberadaan pohon beringin besar yang mengayomi area vihara menjadi daya tarik tersendiri, selain usianya yang bahkan warga setempat tidak tahu persis usia pohon tersebut juga terdapat mata air yang jernih di bagian bawah pohon serta situs yang konon hilang di era kolonial.

“Kalau untuk usia saya juga tidak paham. Pernah saya bertanya ke mbah saya dan mbah saya malah bilang juga dulu pernah bertanya ke mbahnya beliau juga tidak tahu kapan mulai adanya pohon tersebut,” jelas Jupri, salah satu tokoh umat Buddha Sontonayan.

Awal kemunculan umat Buddha di Dusun Sontonayan di mulai sejak tahun 1992, berangkat dari beberapa keluarga yang mulai memeluk agama Buddha hingga diikuti oleh beberapa keluarga yang lain.

Umat Buddha saat ini sebelumnya adalah para penganut kepercayaan Kejawen, kemudian pada masa ketika pemerintah menetapkan aturan bagi setiap warga negara untuk memeluk salah satu agama yang ada mereka memilih agama Buddha sebagai agama baru mereka.

Banyaknya kesamaan nilai-nilai ajaran dan nilai-nilai spiritual antara kepercayaan lama mereka dengan agama Buddha, menjadi alasan kuat untuk memiilih agama Buddha.

Dari awal mulainya agama Buddha ada di Dusun Sontonayan sampai tahun 1999, para umat melakukan aktivitas keagamaan di dalam bangunan berbahan bambu yang mereka buat di atas sebidang lahan yang menumpang milik salah satu umat.

Kedatangan beberapa tokoh dari Jakarta dan Purwokerto seakan memberi angin segar bagi perkembangan umat. Hasil diskusi para tokoh dengan umat akhirnya menghasilkan kesepakatan untuk membangun vihara.

Atas bantuan para tokoh dan para donatur, umat bisa membeli sebidang tanah yang terletak di tengah-tengah pemukiman warga, di bawah pohon beringin yang besar dan rindang.

Semangat umat pun semakin terpacu untuk membangun sebuah vihara, “Waktu itu umat sini bersama-sama dibantu oleh para anggota Sekber melakukan kerjabakti mencari batu. Kita mengumpulkan batu kali sedikit demi sedikit hingga akhirnya bisa terkumpul dan kemudian banyak bantuan yang datang dari para donatur untuk membangun vihara ini,” imbuh Jupri.

The post Teduhnya Vihara Setiya Dhamma Sontonayan, Wonosobo appeared first on BuddhaZine.

Vihara Tantra di Pegunungan Dieng

$
0
0

Vihara Vajra Bumi Merta Bodhi merupakan vihara tertua di Kecamatan Pagentan Kabupaten Banjarnegara. Tepatnya berlokasi di Dusun Bulu Jurang, Desa Pagentan, Kecamatan Pagentan. Vihara ini pula yang menjadi bukti sejarah keberadaan agama Buddha di wilayah Kecamatan Pagentan.

Berawal dari Dusun Bulu, lambat laun perkembangan agama Buddha menyebar ke desa-desa lain seperti Desa Aribaya dan Desa Sokaraja. Pada masa itu para tokoh umat dari dusun Bulu menjadi semakin aktif melakukan bimbingan di dusun-dusun lain.

Awal kemunculan agama Buddha di Dusun Bulu terjadi pada tahun 1971, hingga akhirnya terbangun Vihara Merta Bodhi. Kala itu belum ada mazhab, yang para umat tahu hanyalah agama Buddha. Nama vihara bertambah menjadi Vihara Vajra Bumi Merta Bodhi semenjak kedatangan mazhab Tantrayana di Dusun Bulu pada tahun 1985, kemudian menjadi sekte yang dianut umat hingga sekarang.

Bangunan vihara awal berupa dinding dari batu masih tetap bertahan hingga saat ini meski sempat di renovasi bagian atap pada tahun 2014. Saat ini juga sudah lengkap dengan fasilitas kuti yang di bangun pada 2015-2016.

Menjadi hal menarik bahwa selama sepuluh tahun terakhir hingga saat ini Vihara Vajra Bumi Merta Bodhi diketuai oleh seorang perempuan juga sebagai sosok ibu rumah tangga yaitu Ibu Partimah. Hal yang jarang terjadi di vihara-vihara di daerah lain. Seorang perempuan yang sudah begitu sibuknya mengurus rumah tangga namun masih aktif dan semangat untuk mengurus kegiatan umat.

Jumlah umat saat ini berjumlah 40 orang yang terbagi dalam 12 KK dan kegiatannya pun terbilang aktif, “Kalau sekarang kan lagi pandemi yang masih berjalan itu pujabakti rutin sama ceramah Dhamma di vihara. Kami melaksanakannya tiga kali seminggu yaitu malam Minggu, malam Rabu, dan malam Jum’at. Sebenarnya kalau sebelum pandemi itu ada kegiatan anjangsana juga tapi untuk saat ini ya terpaksa kami hentikan dulu,” terang Partimah.

The post Vihara Tantra di Pegunungan Dieng appeared first on BuddhaZine.


Dusun Buddhis Krecek Juara Lomba Kampung Siaga Candi

$
0
0

Dusun Krecek bersama Desa Getas menjadi pemenang Lomba Kampung Siaga Candi 2020, yang diadakan Polres Temanggung. Pengumuman juara lomba itu disampaikan melalui surat telegram tertanggal 5 Oktorber 2020. Krecek (Getas) mendapat nilai 556, atau unggul 12 poin dari Desa Gambasan, Kec. Selopampang yang mendapat total nilai 544.

Lomba Kampung Siaga Candi merupakan salah satu upaya Polri dalam mencegah penyebaran Covid-19, serta meminimalisir dampaknya bagi masyarakat. Termasuk dampak ekonomi.

Ipda Muhamad Taufiq, KBO Kasat Binmas Polres Temanggung, mengatakan bahwa pembentukan Kampung Siaga Candi memiliki beberapa tujuan yaitu, untuk memotivasi dalam hal ketahanan kesehatan, ketahanan pangan, ketahanan social ekonomi, dan inovasi dalam menghadapi pandemic covid-19.

“Siaga Candi merupakan khas Jawa Tengah. Candi Borobudur. Poin pentingnya adalah kerja sama, gotong royong, saling peduli, dan saling menjaga. Jangan sampai ada tetangga yang tidak bisa makan karena tidak bisa membeli sembako,” kata M. Taufiq, saat menilai Dusun Krecek, Desa Getas sebagai perwakilan dari Kec. Kaloran.

Secara keseluruhan, Polres Temanggung membentuk 253 Desa Kampung Siaga Candi di seluruh Kabupaten Temanggung. Sedangkan penilaian lomba dilaksanakan selama periode tanggal 10 – 23 September 2020 yang menetapkan Dusun Krecek, Desa Getas sebagai juara. Ini sekaligus prestasi pertama Dusun Krecek dalam perlombaan tingkat kabupaten.

The post Dusun Buddhis Krecek Juara Lomba Kampung Siaga Candi appeared first on BuddhaZine.

Sejenak Menikmati Eksotisme Petirtaan Sumber Tetek

$
0
0

Petirtaan Belahan, atau dikenal juga sebagai Candi Belahan / Sumber Tetek (Jawa: Sumber Payudara), adalah sebuah pemandian bersejarah yang dibangun pada abad ke-11, pada masa pemerintahan Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan, ketika ajaran Shiwa-Buddha masih populer di Jawa.

Petirtaan Belahan terletak di sisi timur Gunung Penanggungan (Pawitra), tepatnya di Dusun Belahan Jowo, Desa Wonosunyo, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Pemandian ini berbentuk kolam persegi empat yang mendapat pasokan air dari sebuah sungai kecil.

Menurut sejarah, selain sebagai tempat pertapaan Prabu Airlangga, petirtaan ini juga difungsikan sebagai pemandian selir-selir Prabu Airlangga. Buku “Menepis Kabut Pawitra” menyebut bahwa pada relung tengah petirtaan kemungkinan dulunya memang ditempatkan sebuah area.

Namun kini arca itu telah hilang. Belum diketahui arca apa yang pernah berada di sana. Banyak yang menduga bahwa arca Wisnu naik Garuda, koleksi Museum Majapahit, Trowulan, adalah arca dari Petirtaan Belahan ini. Sebagaimana Pemandian Jolotundo, Petirtaan Belahan juga dianggap sebagai bangunan pemujaan yang ditujukan kepada Dewa Wisnu. Dewa penguasa air suci kehidupan.

Dengan demikian, kedua arca dewi tadi adalah penggambaran Dewi Sri dan Dewi Laksmi, sakti (pasangan) Dewa Wisnu dalam mitologi Hindu. Dugaan bahwa arca Wisnu naik Garuda di relung tengah Petirtaan Belahan tampaknya menimbulkan banyak keraguan. Pasalnya, lapik arca yang ada ukurannya terlalu kecil untuk tempat berdirinya arca yang dimaksud.

Pada dua patung tersebut, aslinya mengalir aliran air dari puting payudara, yang karenanya petirtaan ini disebut sebagai Sumber Tetek. Namun kini hanya patung Dewi Laksmi yang teteknya masih mengeluarkan air. Warga setempat seringkali memanfaatkan kawasan itu untuk mandi atau bermain air. Namun ada juga yang melakukan pemujaan di kawasan sakral nan eksotis tersebut.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.

The post Sejenak Menikmati Eksotisme Petirtaan Sumber Tetek appeared first on BuddhaZine.

Pandemi Bukanlah Penghalang Umat Buddha Pedesaan untuk Berdana

$
0
0

Suasana pandemi bukan berarti menyurutkan semangat umat Buddha di pedesaan untuk berdana. Dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, umat Buddha Kampung Mranggen melaksanakan perayaan Kathina dengan khidmat dan antusias. Perayaan di laksanakan di Vihara Buddha Metta Kampung Mranggen, Dusun Kandangan, Desa Tempuran, Kec. Kaloran, Kab.Temanggung pada Senin (19/10).

Perayaan yang sudah sejak lama dinantikan umat akhirnya terlaksana dengan lancar hingga selesai. Umat menyambut dengan gembira terlaksananya acara Sanghadana di bulan Kathina kali ini.

“Sebenarnya sudah lama kami ingin supaya ada perayaan Kathina di vihara kami dan kali ini ternyata terwujud juga. Meskipun saat ini hanya bisa secara sederhana karena memang sedang dalam kondisi pandemi tapi kami sangat senang dan puas.”

“Jumlah umat yang kami undang juga hanya dari lingkungan satu dusun kami karena terkait perijinan yang belum diperkenankan untuk mengundang dari dusun-dusun lain. Protokol kesehatan juga harus kami patuhi mulai dari mewajibkan umat memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak ketika mengikuti acara,” terang Adi Susanto, selaku Ketua Vihara Buddha Metta.

Pesan Dhamma

Bhante Sujano Mahathera selaku pengisi pesan Dhamma mengulas kembali sejarah perayaan Kathina untuk menambah pengetahuan serta menambah keyakinan umat ketika mengikuti acara Sanghadana.

“Adanya Kathina ini karena adanya bhikkhu yang melakukan Vassa. Kalau tidak ada Vassa ya tidak ada Kathina. Sebelum Sang Buddha menetapkan aturan atau vinaya tentang Vassa, para bhikkhu tetap melakukan perjalanan di musim hujan. Pada waktu itu ada bhikkhu yang melakukan perjalanan menuju tempat Sang Buddha.

Masa itu juga para petani sedang musim menggarap sawah, musim mencangkul dan membuat galengan (tepi petakan sawah). Para bhikkhu tersebut berjalan melalui galengan tadi yang dalam kondisi belum kering. Akhirnya menyebabkan kerusakan pada galengan tersebut yang menyebabkan para petani tidak nyaman dan muncullah gunjingan di antara para petani. Hingga berita tersebut sampai kepada Sang Buddha,” jelas Bhante.

“Saat itulah Sang Buddha membuat aturan yang dinamakan Vassa. Dimana para bhikkhu tidak diperkenankan keluar atau melakukan perjalanan selama musim penghujan dan hanya berdiam diri. Tradisi itulah yang sampai saat ini masih dilaksanakan oleh para bhikkhu. Vassa ini sangat penting sekali bagi para bhikkhu, karena selama masa Vassa para bhikkhu lebih fokus untuk melakukan pembinaan ke dalam diri, membersihkan kekotoran batin di dalam diri.”

“Namun demikian kehidupan para bhikkhu itu memang bergantung seutuhnya kepada umat-umat yang mempunyai sifat kedermawanan atau kemurahan hati. Jadi kalau seorang bhikkhu itu tinggal di suatu tempat yang tidak ada dukungan, bhikkhu tersebut diperbolehkan pergi meninggalkan tempat tersebut. Oleh karena itu hal berdana kepada para bhikkhu ini harus dipahami dengan baik oleh para umat Buddha,” lanjut Bhante.

Berkenaan dengan berdana, lebih lanjut Bhante menjelaskan hal-hal yang seharusnya diberikan kepada para Bhikkhu.

“Umat juga harus tahu apa saja yang bisa di berikan kepada para bhikkhu di hari Kathina ini, yaitu empat kebutuhan pokok para bhikkhu; tempat tinggal, makanan, jubah, dan obat-obatan atau bisa perlengkapan mandi para bhikkhu.”

Untuk semakin memperkuat pemahaman Dhamma serta meningkatkan semangat umat berkaitan dengan dana, di sesi terakhir ceramah Dhamma Bhante memberikan penjelasan tentang buah karma baik bagi umat yang mau berdana.

“Banyak pahala baik bagi orang yang suka melakukan dan mengembangkan kedermawanan. Berdana itu sama dengan memberikan usia panjang, sama dengan memberikan keelokan, berdana sama juga dengan memberi kegembiraan atau kebahagiaan, berdana sama dengan memberi kekuatan. Empat hal inilah yang diberikan pada saat ada orang berdana.”

“Dalam Angutara Nikaya dijelaskan dalam satu dialog seorang Sumana dengan Sang Buddha bahwa meskipun ada dua orang sebanding dalam hal sila, samadhi, dan panna namun berbeda dalam berdana akan ada perbedaan ketika mereka terlahir kembali. Sama-sama terlahir di alam surga tapi bagi seseorang yang suka berdana akan melampaui dalam hal usia panjang, keelokan (ketampanan/kecantikan), kebahagiaan, kekuatan,” pungkas Bhante.

The post Pandemi Bukanlah Penghalang Umat Buddha Pedesaan untuk Berdana appeared first on BuddhaZine.

Menguak Bajralepa, Lapisan Misterius di Candi Kalasan

$
0
0

Candi Kalasan yang dibangun sekitar tahun 778 Masehi atas prakarsa Maharaja Tejahpurana Panangkaran dari era Mataram Kuno merupakan bangunan suci tempat pemujaan kepada Dewi Tara.

Masih banyak misteri yang menyelimuti candi buddhis ini, di antaranya adalah bahwa relief dan permukaan candi yang sangat menawan dilapisi dengan “bajralepa’, sebuah lapisan pelindung khusus, yang membuat candi bisa tampak mempesona dengan warnanya yang kuning keemasan saat bulan purnama.

Hal tersebut dibahas dalam diskusi daring “Bajralepa Candi Kalasan” yang digelar Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) DIY, Senin (19/10/2020) melalui platform aplikasi Zoom.

Prof. Dr. Endang Tri Wahyuni , M.Sc. yang merupakan ahli kimia dari Departemen Kimia Universitas Gajah Mada selaku narasumber menjelaskan, “semen kuno” Bajralepa fungsi utamanya adalah untuk melindungi atau coating relief dari dampak biologis dan kimiawi lingkungan sekitar. Selain itu juga guna membuat relief menjadi lebih halus.

“Bajralpa itu sangat rapat atau tidak porous, tidak ada kemungkinan air untuk masuk pada dinding candi,” ungkap Endang.

Apa komposisi bajralepa? Endang mengakui, ada anggapan di masyarakat bahwa itu terbuat dari cairan putih telur. Namun pihaknya menyangkal, dan menegaskan bahwa itu tersusun dari mineral kaolin (dari batu bata), kalsit (dari batu kapur), silica (dari pasir), dan kalkopirit. Ini diketahui dengan metode difraksi Sinar-X. Kadarnya pun bisa diketahui menggunakan software khusus, yakni berturut-turut 16,7%, 72%, 10,2%, dan 0,9%.

“Kaolin itu seperti lempung yang banyak digunakan untuk membuat gerabah,” jelasnya.

Sementara, kalkopirit menurutnya adalah mineral langka yang tersusun dari tembaga, besi ,dan belerang. Warnanya bervariasi, dari biru, perak, hingga keemasan. Mineral yang sangat keras ini turut membuat warna candi menjadi lebih indah dan cemerlang.

Selanjutnya, apakah mungkin dibuat tiruan bajralepa? Menurut Endang sangat dimungkinkan. Namun tetap harus melalui penelitian lebih jauh lagi. Yang sulit menurutnya adalah mencampur dengan kalkopirit, karena kini tidak bisa ditemukan lagi mineral itu di sekitar Candi Kalasan.

“Yang sudah ditemukan di Freeport di pertambangan emas,” katanya.
Ramuan komposisi membuat bajralepa yang asli menurutnya adalah bentuk kehebatan nenek moyang bangsa Indonesia. Sebab salah kadarnya sedikit saja, bisa berakibat yang lain sekali, termasuk dalam tingkat kecemerlangan warna candi, menurut penelitian awal yang dilakukannya.
“Karena kalau kita campur tiga elemen tanpa kalkopirit tidak bisa,” jelasnya.

Narasumber lain, R Wikanto Harimurti MA selaku konservator dari BPCB DIY menjelaskan, Candi Kalasan yang merupakan candi buddhis tertua di Yogyakarta memiliki lapisan bajralepa yang berfungsi untuk memperindah tampilan candi dan juga sebagai segel.

Bajralepa yang juga ditemukan di Candi Sari juga ditempatkan di antara batu sebagai perekat yang sangat erat, yang membuat candi belum pernah runtuh secara keseluruhan. Bajralepa menurutnya juga memiliki sifat konservatif.

“Batu –batu yang ada bajralepanya sampai saat ini tidak ditumbuhi mikroorganisme,” ungkapnya.

Dirinya menuturkan, saat dipugar oleh Van Romondt tahun 1927, banyak batu Candi Kalasan yang sudah tidak ada di tempatnya. Atap atau cungkup candi berlubang, dan belum diketemukan batu aslinya. Karena itu, tahun 1993 candi mulai ditutup atapnya oleh BPCB DIY menggunakan fiberglass, agar air hujan tidak masuk tubuh candi.

“Kondisi material batu yang ada di dalam bilik Candi Kalasan mengalami penggaraman yang sangat parah, sehingga batu-batu itu menyatu menjadi monolith,” jelasnya.

Hal tersebut diduga karena adanya kucuran air dari atas. Terlebih karena bagian dalam candi tidak dilapisi bajralepa. Karena itu tahun 1996 atap candi ditutup seluruhnya.

Tahun 2014 pihaknya mencoba membersihkan endapan garam di Candi Kalasan. Selanjutnya tahun 2018 kajian bajralepa dilakukan, disertai dengan pembongkaran parsial lapisan batu candi untuk pembersihan garam. Namun itu dihentikan karena membuat banyak batu asli yang rusak. Karena itu tahun 2019 mulai dilakukan pengawetan dan pemasangan lagi batu.

Kini pihaknya sudah mulai menyusun batu pengganti untuk bagian cungkup atas candi. Ini akan dipasang seutuhnya di tahun depan (2020).
“Nanti bagian atasnya [candi] akan tertutup [batu],” jelasnya.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.

The post Menguak Bajralepa, Lapisan Misterius di Candi Kalasan appeared first on BuddhaZine.

Stupa Dawangsari, Lebih Besar dari Stupa Induk Borobudur

$
0
0

Situs Dawangsari berada di Dusun Dawangsari, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs candi Buddhis ini terletak pada bentuk topografi dataran tinggi (perbukitan) dan berada satu kompleks dengan situs Candi Barong, sebuah candi Hindu yang berada di sebelah selatannya.

Situs Candi Dawangsari terdiri atas bangunan stupa, namun sebagian besar masih berupa kumpulan batu yang lepas. Karena itu situs ini kerap disebut juga Stupa Dawangsari. Menurut perkiraan, stupa ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Klasik.

Situs Candi Dawangsari pertama kali disebut di dalam dokumen Belanda tahun 1915. Papan informasi di kawasan ini menyebutkan, pemetaan lengkap pada dilakukan pada 1986 / 1987.

Secara intensif penelitian arkeologis di situs Candi Dawangsari mulai berlangsung pada tahun 1987 sampai dengan 1988/ 1989. Antara tahun 1989 sampai 2000 terjadi kevakuman, karena fokus kegiatan dikonsentrasikan pada pemugaran Candi Barong.

Ekskavasi dilakukan kembali pada tahun 2001, yang dari situ ditemukan petunjuk bahwa ada lebih dari satu stupa di Dawangsari.

Stupa Dawangsari terbuat dari batuan andesit, terdiri atas tiga tingkat. Susunan perbingkaian stupanya terdiri atas batur teras pertama berukuran 17 m x 17 m, dengan tinggi 0,90 m. Sementara itu, batur teras kedua berukuran 16 m x 16 m, dengan tinggi 0,41 m. Batur ketiga berukuran 15,3 m x 15,3 m.

Bagian lengkung stupa atau dagoba belum diketahui bentuknya secara pasti karena data yang ada hanya tersisa komponen lepas. Namun diperkirakan memiliki diameter 11 m dan tingginya 5,75 m. Ini jelas lebih besar dibanding stupa induk Candi Borobudur yang berdiameter 9,90 meter, dan tingginya 7 meter.

Usaha prapemugaran Stupa Dawangsari dilakukan intensif sejak Oktober 2019. Kini, pegawai BPCB DIY sudah berhasil membuat susunan percobaan lingkaran terbawah beberapa stupa di sana.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.

The post Stupa Dawangsari, Lebih Besar dari Stupa Induk Borobudur appeared first on BuddhaZine.

Mau Bugar? Relief Candi Borobudur Bisa Jadi Petunjuknya

$
0
0

Cara untuk mendapatkan kebugaran fisik bisa didapat dari banyak hal. Salah satu sumber informasi tentang itu rupanya adalah dari candi kebanggaan Indonesia, Borobudur. Berbagai metode kebugaran, mulai dari yoga, pemijatan, hingga meramu jamu bisa dijumpai di sini.

Hal tersebut terungkap dalam Virtual Tour “Narasi Kebugaran di Relief Candi Borobudur” yang digelar Minggu (1/11/2020) pagi. Acara diadakan oleh Balai Konservasi Borobudur secara daring.

Bramantara, salah satu staf Balai Konservasi Borobudur dari tingkat 3 Borobudur sisi barat menerangkan tentang salah satu panel relief Gandawyuha, yang memperlihatkan sosok petapa Sudhana yang sedang mempraktikkan salah satu pose yoga. Ia terlihat berdiri seimbang di atas satu kaki, kaki kirinya.

“Kalau di yoga itu pose pohon,” kata Bram, sambil bercerita singkat tentang perjalanan spiritual Sudhana di Gandawyuha.

Ia lantas melanjutkan bercerita tentang relief di sebelahnya yang memperlihatkan sosok agung yang sedang bermeditasi, dengan jari tangan membentuk dhyana mudra. Ini adalah mudra yang lazim ditemukan dalam arca Buddha Amitabha, di mana kedua tangan bertumpuk dan menyatu.

“Dalam konteks ini energi terharmoni lewat sentuhan kedua jari,” jelasnya.

Selepas itu, di lorong 1 Borobudur sisi barat, ia memperlihatkan relief jataka yang memperlihatkan sosok bodhisatwa tidur. Posisinya yang berbaring ke arah kanan, dengan tangan kanan menopang kepala ini menurutnya adalah posisi tidur yang menyehatkan.

“Posisi ini masih ada konteks kaitannya dengan yoga,” ujarnya.

Sementara itu, Hary Setyawan, staf Balai Konservasi Borobudur yang lain membahas relief Ruru Jataka di lorong 1 Borobudur. Di sini ia menjelaskan tentang kisah rusa / kijang emas perwujudan Bodhisatwa yang digambarkan pada dua panil secara realis.

“Secara tidak langsung adegan dari binatang, mengilhami gerakan yoga, yang memberi kita wellness, kebugaran,” terangnya.

Ia lantas bergeser ke relief Mahakapi Jataka, cerita tentang raja kera yang melindungi rakyatnya. Pose kera menurutnya juga dikenal dalam yoga sebagai pose hanumasana.

“Pose-pose binatang bisa diakomodir menjadi gerakan yoga,” katanya.

Karuna Jataka, adalah relief yang diterangkan selanjutnya, tentang seekor gajah yang mengorbankan dirinya bagi orang-orang yang terbuang. Sang gajah di kisah ini membunuh dirinya dengan melompat ke jurang, supaya dagingnya bisa dimakan oleh ratusan orang.

“Ada pose gajasana yang dalam beryoga, yang bisa dikaitkan dengan anatomi gajah,” terang Hary.

Kisah kebugaran terkait pijat badan menurutnya terdapat di beberapa relief, khususnya di Karmawibhangga, yang kini sudah tertutup. Ia menjelaskan bahwa relief Karmawibhangga secara umum bertutur tentang hukum karma, terkait sebab-akibat.

“Sebabnya kita merawat orang, di kehidupan selanjutnya kita akan mendapat karma-karma yang baik,” jelasnya terkait relief pijat.

Relief pengolahan herbal menurutnya juga dapat ditemukan di Karmawibhangga, yakni di panel nomor 15. Di sini diperlihatkan bagaimana orang Jawa abad ke 8-10 mengolah obat-obatan untuk proses penyembuhan.

“Mengambil bahan-bahan dari alam, mengolahnya secara tradisional,” kata Hary.

Kembali Bramantara menjelaskan, di Borobudur juga terdapat relief pohon asam, di bagian Lalitavistara. Ini menurutnya membuktikan bahwa jamu kunir asem sudah ada sejak zaman dahulu kala, di mana masyarakat Jawa memang erat dengan minuman herbal untuk menciptakan kondisi fisik yang bugar.

“Tidak bisa lepas dari jamu,” ungkap dia.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.

The post Mau Bugar? Relief Candi Borobudur Bisa Jadi Petunjuknya appeared first on BuddhaZine.

Merawat Air, Merawat Kehidupan

$
0
0

Selasa pagi (10/11/2020), meskipun sudah memasuki musim penghujan, cuaca Dusun Krecek cukup cerah. Sejak pukul 7 pagi seluruh masyarakat dusun sudah mulai berdatangan ke Pendopo PAUD Saddhapala Jaya.

Perempuan mengenakan kebaya, sedangkan kaum laki-laki mengenakan sorjan berbunga dan lurik, pakaian khas Jawa. Mereka hendak melakukan peletakan arca Dewi Tara di punden dan mata air yang menghidupi masyarakat Dusun Krecek.

Peletakan Arca Dewi Tara dimulai tepat pukul 8 pagi dengan pembacaan paritta-paritta suci di depan altar pendopo yang telah dihias dengan sarana puja, tumpeng, ingkung, dan makanan khas gendurian Dusun Krecek.

Ratusan hadirin larut dalam hening lantunan paritta-paritta yang dibaca bersama Bhante Dhammakaro, dan seorang samanera. Usai melakukan puja bakti di Pendopo PAUD, hadirin melakukan arak-arakan ke mata air Telogo Cahyo.

Berikut foto-fotonya:

 

The post Merawat Air, Merawat Kehidupan appeared first on BuddhaZine.


Tradisi Puja Sebagai Wujud Syukur Warga Pringamba, Banjarnegara

$
0
0

Hari itu Kamis (27/08) menjadi hari yang membahagiakan, sarat akan makna dan harapan luhur bagi warga Dusun Pringamba, Desa Aribaya, Kecamatan Pagentan, Banjarnegara. Secara serentak warga berkumpul untuk melakukan tradisi puja kepada Tuhan Yang Maha Esa, alam semesta, dan juga para leluhur.

Sebuah wujud penghormatan, rasa syukur serta dharma bakti atas berkah kerukunan, keharmonisan, dan kemakmuran hidup yang selama ini mereka kecap. Terwujud dalam sebuah ritual Ruwat Bumi.

Momentum bulan Suro sebagai bulan yang sakral bagi masyarakat Jawa, terutama masyarakat Dusun Pringamba menjadi bulan yang tepat untuk mengadakan ritual ruwatan.

Namun kondisi pandemi mengharuskan adanya perbedaan dalam pelaksanaan ritual, “Sempat kami bingung karena saat ini sedang ada pandemi Covid-19 ini, sehingga kami selaku panitia menghimbau warga agar meningkatkan kewaspadaan dalam menjalankan ritual yang sudah menjadi tradisi wajib ini.

Tapi bagaimanapun ini harus tetap dilakukan, berdasarkan pengalaman yang telah para pendahulu kami lalui ketika melewatkan ritual ini membuat kami tidak berani meninggalkan tradisi ini.

“Menjadi perhatian utama bagi para pemangku dusun dan panitia untuk selalu mengingatkan para warga mematuhi protokol kesehatan baik sebelum, selama, maupun sesudah ritual ruwatan,” ungkap Suroyo, ketua panitia Ruwat Bumi.

Di pagi hari ketika mentari baru saja memperkenalkan diri, para warga sudah hilir mudik di sekitar panggung utama yang terletak di tengah dusun. Para priyayi kakung (laki-laki) berdandan mengenakan beskap serta blangkon, berbalut jarit motif batik.

Para priyayi putri menghias diri dengan kebaya dan sanggul bagi yang ibu-ibu, sedang bagi para remaja putri mengenakan kebaya bergaya kekinian. Beberapa bahkan mendadak memesan kepada tukang jahit yang sengaja dibuat khusus untuk dikenakan saat ritual.

Sebagian remaja laki-laki maupun perempuan menjadi simbol prajurit masa lalu, sebagian lainnya membawa seperangkat alat musik tradisional untuk mengiringi arak-arak saat ritual. Mereka adalah group seni yang ada di Dusun Pringamba, satu group adalah kesenian jatilan, sementara satu group lain adalah group kesenian ceping.

Di antara perkumpulan warga muncul satu kearifan yang sangat terasa, bahwa meskipun di Dusun Pringamba secara agama ada dua yaitu Islam dan Buddha namun dalam ritual ini tidak ada sesuatu yang menonjolkan simbol keagamaan.

Semua nampak sama dan berseragam dalam balutan budaya Jawa. Seakan tradisi menjadi sarana permersatu semua perbedaan serta sarana untuk melebur dalam kebersamaan tanpa memandang agama. Nilai kerukunan dan keharmonisan yang sudah mereka maknai sejak dulu kala ketika mereka mulai mengenal tradisi ruwat bumi.

Perlahan mulai terdengar alunan bendhe dan beduk, mereka mulai bergerak menuju titik-titik persembahan yang terletak pada sebuah bukit di atas dusun. Kurang lebih satu kilometer perjalanan yang akan mereka lalui, menerjang dingin udara sebuah kawasan berketinggian kurang lebih 900 mdpl.

Kaki-kaki yang seakan tak mengenal letih, dengan penuh khidmat melangkah menyusuri jalan berbatu, berbelok-belok dan menanjak. Keriangan anak-anak kecil turut mewarnai ritual sepanjang perjalanan.

Mulai memasuki kawasan bukit, bagai semut yang hendak bermigrasi, segerombolan warga berseragam pakian adat khas Jawa berbaris memanjang menelusup di antara perkebunan salak.

Para lelaki yang energik dan penuh semangat memikul gunungan hasil bumi, sebagian membawa berbagai sesaji, sedangkan para perempuan nampak anggun dengan kebayanya mengiringi jejak langkah para sesepuh pemangku dusun menuju sebuah petilasan.

Dua dara muda beriringan membawa kendi berisi air bunga, salah satu unsur persembahan ruwatan. Iringan gamelan yang terus bergaung menjadi penjaga semangat untuk tetap berjalan hingga tujuan.

Terdapat sebuah petilasan di antara rerimbun kebun salak, mereka menamainya dengan Bramasari. Sebuah petilasan dari Ki Ageng Bramasari.

Dari tutur salah satu pemangku dusun, dahulu kala di Dusun Pringamba terjadi sebuah kekacauan di mana banyak tanaman-tanaman warga yang diserang hama. Warga mengalami paceklik yang cukup menyulitkan untuk hidup makmur.

“Konon kondisi kala itu yang akhirnya memaksa para sesepuh dusun mencari cara untuk menanggulanginya. Bersama dengan warga melakukan ritual di petilasan Bramasari. Kala itu ritual dilakukan secara sederhana namun ada hal wajib yang harus dipenuhi, yaitu tari ronggeng.”

“Para sesepuh akan membawa ronggeng ke lokasi petilasan untuk kemudian melakukan puja dengan sebuah tarian yang dilakukan oleh para sesepuh itu sendiri dengan ronggeng yang mereka bawa,” tutur Pak Raban, pejabat desa dari Dusun Pringamba.

Hingga kini tarian ronggeng menjadi satu kewajiban yang harus ada dalam pelaksanaan ruwat bumi. Menurut Suroyo, meskipun sulit tapi panitia harus mencari ronggeng yang memang benar-benar bisa karena itu wajib ada.

“Biasanya jauh-jauh hari bahkan bisa satu bulanan lebih waktu yang kami butuhkan untuk mencari seorang ronggeng. Ketika menetapkan waktu untuk ritual, meskipun tetap berpatokan pada perhitungan Jawa tapi juga harus melihat waktu luang dari penari ronggeng,” ungkapnya.

Setiba di titik persembahan teratas, warga mendengarkan alunan doa dan mantra Jawa terucap dari seorang sesepuh Dusun, Mbah Kariyono, sekaligus pemangku adat Dusun Pringamba. Kepulan asap kemenyan dan hio menyeruap di antara duri-duri tajam pohon salak, mengurai keapekan aroma daun kering.

Dengan membawa kembali air bunga dan gunungan hasil bumi yang sudah terbekahi dari petilasan teratas, arak-arak bergerak menuju titik ritual kedua. Pesan moral dan ucapan syukur pun diperdengarkan kepada warga.

“Para saudara semua, para sedulur-sedulur, kita semua secara bersama-bersama telah melakukan puja kepada Dah Hyang Bramasari. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, jalan yang berliku-liku dan menanjak, hingga mencapai puncak, kita bisa mempersembahkan puja ini sebagai wujud syukur kita,” ungkap Mbah Karyono.

Waktu yang sudah siang sekitar pukul 11.00 WIB seharusnya panas begitu menyengat, namun berkat rindang perkebunan salak dan pohon-pohon perdu lain sepanjang rute arak-arak, justru hawa kesejukan yang seringkali menyapa kulit.

Sesaat sebelum arak-arak meninggalkan titik persembahan terakhir untuk kembali ke panggung utama, Mbah Karyono menyampaikan doa dan harapan kepada warga, “Semoga dengan apa yang kita lakukan ini, Tuhan Yang Maha Esa, Dah Hyang serta para leluhur melimpahkan segala berkah kebaikan, pertanian yang subur, kemakmuran, serta kerukunan bagi kita semua,” ucapnya.

Tarian ronggeng di panggung utama, dengan iringan gamelan live menjadi pengobat lelah para warga yang baru saja menyelesaikan perjalanan ritual. Sebuah pertunjukkan wajib dalam ritual ruwat bumi, yang kini mengalami pergeseran dalam bentuk maupun proses penyelenggaraannya.

Jika dulu cukup dilakukan dengan beberapa sesepuh dan berlokasi di titik persembahan, tapi pada masa sekarang selain menjadi pertunjukkan sakral sekaligus wahana tontonan sehingga perlu adanya panggung khusus. Namun demikian tanpa mengurangi esensi pertunjukkan, yaitu untuk memenuhi syarat wajib ritual ruwat bumi.

Beberapa laki-laki tua dan muda menari meliuk-liuk mengelilingi dua ronggeng, melakukan tarian seakan menyampaikan pesan syukur serta luapan segala emosi untuk menyegarkan batin. Melupakan sejenak segala permasalahan hidup.

Sementara sambil menikmati pertunjukkan roggeng, warga secara bergantian mengisi botol air minum yang mereka bawa dengan air bunga (air berkah) untuk kemudian di bawa pulang ke rumah masing-masing. Air berkah menjadi simbol segala berkah kebaikan bagi semua masyarakat Pringamba.

Tak lupa harapan keselamatan mereka ungkapkan dalam sebuah ritual “wilujengan”, selamatan di penghujung ritual. Semua warga membawa berbagai makanan dalam sebuah tenong.

Senyum keceriaan, canda tawa warga mengiringi upacara kendurian selamatan. Saling bertukar makanan, sebuah simbol syukur sebagai makhluk individu serta penanaman rasa kedermawanan dan kepedulian sebagai makhluk sosial.

Suasana mendadak riuh sesaat setelah warga beranjak dari lokasi kendurian. Ritual perebutan sesaji dan hasil bumi yang telah terberkahi menjadi aksi seru untuk menutup serangkaian ritual ruwat bumi.

The post Tradisi Puja Sebagai Wujud Syukur Warga Pringamba, Banjarnegara appeared first on BuddhaZine.

Candi Gana, Keindahan yang Tersembunyi di Sekitar Prambanan

$
0
0

Bicara tentang warisan dunia yang ada di kawasan Prambanan, pasti yang sering disebut adalah Candi Prambanan atau Candi Sewu. Padahal ada beberapa candi lain di sana yang juga masuk dalam warisan dunia, seperti Candi Lumbung, Candi Bubrah dan Candi Gana/Asu.

Khusus Candi Lumbung dan Candi Bubrah bersama Candi Prambanan dan Sewu berada di lingkungan PT Taman Wisata. Sementara Candi Gana/Asu terletak diluar pagar, di tengah perkampungan penduduk. Sehingga wajar kalau tidak banyak masyarakat umum yang mengetahui keberadaan Candi Gana.

Candi Gana terletak di Dusun Bener, Kelurahan Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Keberadaan Candi Gana erat kaitannya dengan keberadaan candi-candi di kawasan Prambanan. Candi ini juga termasuk bangunan yang telah ternominasi menjadi Warisan Dunia dengan sebutan Candi Asu bersama Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Lumbung dan Bubrah.

Candi Gana merupakan candi Buddhis yang berkedudukan sebagai subordinat, menjadi bagian dari Candi Sewu sebagai superdinat atau pusatnya dan membentuk sebuah konsep mandala dalam agama Buddha. Adanya sisa stupa di kawasan candi turut memperindah kawasan tersebut.

Candi Gana dibangun sekitar abad IX M, yang diketahui berdasarkan bentuk perbingkaian kaki dan bawah tubuh candi, yakni bingkai belah rotan dan sisi genta. Bentuk-bentuk belah rotan dan sisi genta merupakan tanda-tanda bangunan yang dibangun pada abad IX M saat Mataram kuno diperintah oleh dinasti Syailendara.

Berdasarkan hasil rekontruksi, candi induk Gana berdenah bujur sangkar. Profil kaki candi yang tersisa terdiri dari bingkai rata, padma, dan belah rotan. Pada sisi barat terdapat sebuah tangga yang komponennya belum lengkap dan strukturnya menyatu dengan kaki candi. Keberadaan tangga ini dapat menjelaskan arah hadap candi, yaitu ke arah barat, ke arah kompleks Candi Sewu yang berjarak 300 meter.

Awalnya, candi ini disebut sebagai Candi Asu yang berarti anjing dalam bahasa Jawa. Sebab dahulu sebelum masa pra pemugaran ada banyak anjing di sekitar candi ini. Nama Candi Asu berubah menjadi Candi Gana karena ditemukan hiasan gana atau orang kerdil.

Terdapat lima arca Kuwera atau dewa kekayaan Buddhis yang ditemukan di Candi Gana. Karena itu menurut pakar Candi Gana digunakan untuk memuja Kuwera.

Sampai saat ini Candi Gana belum diekskavasi dan dipugar dan diperkirakan masih ada bangunan candi yang terpendam di bawah rumah-rumah penduduk sekitar.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.

The post Candi Gana, Keindahan yang Tersembunyi di Sekitar Prambanan appeared first on BuddhaZine.

Batik Kinnara Kinnari

$
0
0

Bulan November 2015, pertama kali liputan umat Buddha Banyuwangi seorang narasumber menyebutkan beberapa faktor yang harus dibenahi dalam membangun umat Buddha di perdesaan Banyuwangi. Salah satunya adalah, bagaimana lingkungan vihara bisa produktif.

Vihara di perdesaan supaya lebih hidup, selain digunakan sebagai tempat puja bakti, belajar Buddhadharma, dan aktivitas sosial lainnya juga mempunyai usaha bersama. Hasilnya, untuk menunjang aktivitas vihara, syukur-syukur bisa meningkatkan perekonomian umat.

Setelah lima tahun, nampaknya harapan itu akan segera terwujud. Minimal salah satu vihara sudah mulai merintis. Vihara Dhamma Kerti, Dusun Rejoagung, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi yang membuka usaha produksi batik dengan motif buddhis. Batik Kinnara Kinnari.

Pembuatan batik Kinara Kinari bermula dari program Participatory Action Research (PAR) STAB Nalanda. Meskipun baru dimulai bulan Agustus 2020, usaha itu sudah nampak hasilnya. Ragam batik motif buddhis yang dihasilkan sudah mulai laku dipasaran.

Vihara Dharma Kerti juga mulai tampak hidup. Ruang Dharmasala memang selalu terkunci di luar jam puja bakti bersama dan kegiatan Sekolah Minggu Buddhis. Namun, aktivitas ibu-ibu membatik tiap hari membuat vihara selalu ramai. Selain itu, vihara juga mendapat sebagian hasil dari penjualan batik. Keren!

Oh iya, Batik Kinnara Kinnari ini juga yang membuat kami, tim BuddhaZine bisa kembali dolan ke Banyuwangi, 17 – 22 Desember 2020.

The post Batik Kinnara Kinnari appeared first on BuddhaZine.

Merasakan Atmosfer Majapahit di Kampung Thintir

$
0
0

Kelekatan masyarakat terhadap budaya lokal bernafaskan Shiwa-Buddha, membuat Kampung Thintir mempunyai julukan sebagai kampung Majapahit. Paling tidak itulah kesimpulan dari sekelompok mahasiswa yang sempat membuat film dokumenter di kawasan ini beberapa tahun silam.

Kampung Thintir Majapahit berada di Dusun Gemping, Desa Anggrasmanis, Kecamatan Jenawi, Karanganyar, Jawa Tengah. Dengan didukung pemda setempat, lokasi ini diproklamirkan menjadi sebuah tujuan wisata dengan berbagai keunikannya sejak 2015.

Kampung ini sebagian besar penduduknya beragama Hindu, sekitar 90 persen dari 50 total KK. Maka tak heran obyek pemujaan seperti Padmasana maupun arca-arca bernuansa Shiwa-Buddha mudah dijumpai di kawasan kaki Gunung Lawu ini.

Tiap 210 hari, di Wuku Wayang, Anggara Manis (Selasa Legi), digelar upacara adat, dipimpin Jro Mangku Djito, selaku pemangku adat dan tokoh spiritual setempat. Dinamakan Upacara Tata Negara, ritual ini digelar rutin untuk menciptakan kerahayuan masyarakat, bangsa dan negara.

Baca juga: Candi Gana, Keindahan yang Tersembunyi di Sekitar Prambanan

Pada sore hari tanggal 5 Januari 2020, telah diadakan upacara tersebut, di tengah hujan gerimis. Dan biasanya, malam harinya selepas upacara, digelar pasar malam tradisional memakai penerangan lampu thintir (obor tradisional). Namun karena suasana pandemi COVID-19, acara pasar malam yang rutin diadakan, disertai kirab reog dan dolanan bocah, tahun ini urung digelar.

Meski demikian, warga tetap menyambut baik siapapun yang datang dalam acara hari itu. Termasuk Mbah Djito, sang pemangku adat, yang biasanya sehari-hari kerja mencari rumput di pegunungan.

Kepada mereka yang pertama kali datang, ia selalu menegaskan bahwa sebenarnya tidak ada guru di kampung ini. Semua dapat menjadi saudara dan dapat saling belajar tentang apapun.

“Kalau kamu datang bawa masalah kamu guruku. Kalau kamu datang tidak bawa masalah kamu saudaraku,” tuturnya.

The post Merasakan Atmosfer Majapahit di Kampung Thintir appeared first on BuddhaZine.

Laku Lelono Sudhana dari Borobudur ke Tabo (Bagian Kedua)

$
0
0

Tiba di Tabo saya disambut dengan sangat baik oleh Sangha Wihara Tabo dan disediakan kamar di gompa baru.

Siapa menyangka stupa-stupa dari tanah gersang itu dapat memelihara lukisan-lukisan dinding yang begitu halus dan rapuh selama lebih dari seribu tahun? Karena ruang-ruang di dalam gelap, dan tidak boleh mengunakan senter, peziarah harus menunggu jam-jam tertentu ketika sinar matahari menembus melalui celah tembok atau atap dan menerangi sekejap lukisan-lukisan lalu padam.

Setiap hari Sabtu dan Minggu, masyarakat Desa Tabo berkumpul di Aula Pertemuan untuk mendengar Dharma yang disampaikan Geshe Tenzing Kalden Rinpoche. Beliau adalah bisku muda dan terpelajar yang ditugaskan oleh Yang Mulia Dalai Lama untuk mengajar kaum awam di Spiti sejak 2015.

Geshe Kalden duduk di atas bantal biasa, setingkat para muridnya, dalam suasana santai dan hangat, penuh tanya-jawab dan tawa, sambil meminum teh mentega dan mengerumit biskuit. Padahal mata kuliah cukup berat: Dua belas tautan kemunculan bergantung. Seolah-olah tiba-tiba masa emas Wihara Tabo bangkit kembali.

Suatu saat, Geshe Kalden berkata kepada saya: “Kemungkinan besar Atisha pernah melewati Tabo dalam perjalanannya dari Nepal ke Wihara Thölin. Tahun depan, akan saya siapkan tsampa (tepung gerst, makanan pokok orang Tibet) untuk kamu jika kamu kembali ke Tabo dengan informasi mengenai tempat persisnya dimana Atisha berguru dengan Serlingpa di Muara Jambi.”

Sehari sebelum saya berangkat dari Tabo, atas undangan kepala Serkong School, Dorjee Neema,saya datang ke kelas untuk menceritakan pelayaran Atisha dari India ke Sumatera untuk berjumpa dengan gurunya yang paling disayangi dari seluruh masa hidup sebelumnya yang kak terhingga: Serlingpa, “Manusia dari Pulau Emas” dalam Bahasa Tibet.

Anak-anak melompat kegirangan ketika saya bertutur bagaimana Atisha berhasil menjembatani jurang antara kepulauan Indonesia dan pegunungan Himalaya seribu tahun yang lalu. Maka, sekarang ayo kita bangun tautan sekolah bersaudara antara Tabo, Muara Jambi, Borobudur hingga Dusun Krecek, Temanggung!

The post Laku Lelono Sudhana dari Borobudur ke Tabo (Bagian Kedua) appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 222 articles
Browse latest View live